Editorial & Opini

Tragedi Mutilasi Guncang Batang Anai, Pengamat Sosial-Budaya Desak Revitalisasi Hukum Adat Minangkabau

28 Jun, 2025

42 View

Batang Anai, Siber8com _ Tragedi mutilasi sadis yang dilakukan oleh Satria Johanda alias Wanda di Korong Lakuak, Nagari Sungai Buluah, Kecamatan Batang Anai, telah mengguncang masyarakat Sumatera Barat, tidak hanya secara psikologis namun juga secara kultural. Peristiwa ini mencerminkan krisis nilai sosial serta melemahnya peran hukum adat di tengah masyarakat Minangkabau.

Mahdiyal Hasan, SH, pengamat sosial-budaya Minang dan alumni Universitas Andalas, menyatakan bahwa kasus Wanda harus dilihat sebagai akibat dari runtuhnya sistem kontrol sosial berbasis adat yang selama ini menjadi fondasi masyarakat Minangkabau.

“Ini bukan sekadar kasus kriminal. Ini peringatan tentang rapuhnya fungsi kontrol adat dan budaya dalam kehidupan kita saat ini,” ujar Mahdiyal dalam pernyataan tertulisnya, Jumat (27/6).

Ia menekankan bahwa prinsip “Tigo Tungku Sajarangan”—yakni peran ninik mamak (pemangku adat), alim ulama, dan cadiak pandai—harus segera direvitalisasi. Ketidakseimbangan dalam ketiga elemen ini, menurutnya, menjadi pemicu utama hilangnya arah dan marwah dalam kehidupan sosial masyarakat.

“Ketika salah satu unsur adat lemah, masyarakat kehilangan kontrol moral dan spiritual. Kasus Wanda adalah gejala dari kegagalan kolektif itu.”

Mahdiyal juga menyoroti respons warga yang menolak kehadiran keluarga pelaku, menyebut hal tersebut sebagai reaksi yang wajar namun tidak boleh dibiarkan menjadi stigma jangka panjang.

“Kita harus membangun pendekatan yang lebih manusiawi. Keluarga pelaku juga korban dari sistem sosial yang gagal. Solusinya bukan pengucilan, tapi pembinaan dan penguatan kembali peran adat.”

Ia menyerukan kepada seluruh unsur pemangku kepentingan adat, tokoh agama, pemerintah daerah, serta aparat keamanan untuk bersinergi menghidupkan kembali fungsi hukum adat sebagai bagian integral dari upaya preventif terhadap kriminalitas.

“Hukum tidak cukup ditegakkan di ruang pengadilan. Ia harus hidup di rumah gadang, di surau, dan dalam tatanan kampung. Saatnya kita kembali kepada falsafah kita: Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah.”

Tragedi ini, lanjut Mahdiyal, harus dijadikan momentum refleksi dan titik balik. Bukan hanya untuk menyembuhkan luka kolektif, tetapi juga untuk membangun kembali sistem nilai dan kontrol sosial yang telah lama menjadi identitas kuat masyarakat Minang.

“Kalau kita tidak bergerak hari ini, kita akan kehilangan generasi. Jangan tunggu Wanda berikutnya lahir baru kita bertindak,” tegasnya..(KMK)

RONI